Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan
aminoglikosid telah dikurangi khususnya di negara-negara maju. Hal ini
disebabkan oleh selain karena ditemukannya antibiotik broad-spectrum lain seperti sefalosporin, karbapenem dan
florokuinolon, tetapi juga karena efek samping yang berhubungan dengan
penggunaan aminoglikosid.1 Telah lama diketahui bahwa toksisitas
ireversibel mayor dari aminoglikosid adalah ototoksisitas (kokleotoksisitas dan
vestibulotoksisitas). Streptomisin dan gentamisin adalah vestibulotoksik,
sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin adalah
kokleotoksik. Neomisin dianggap yang paling toksik. Kerusakan koklea dapat
menyebabkan gangguan pendengaran permanen, dan kerusakan dari aparatus
vestibular menyebabkan pusing, ataksia, dan/atau nistagmus. Pada manusia, efek
ototoksik dari obat-obat ini dilaporkan sebagai gangguan pendengaran (tuli)
sensorineural yang permanen karena sel rambut di koklea tidak beregenerasi.
Dalam pengobatan infeksi akut yang berlangsung
selama 5-7 hari, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh aminoglikosid
berkisar 20% dan gangguan keseimbangan berkisar 15%. Insiden dari ototoksisitas
pada pasien tuberkulosis (TB) yang diterapi dengan aminoglikosid bergantung
pada durasi dan dosis. Insiden tersebut dapat hanya serendah 3,2% selama fase
awal terapi menggunakan obat TB primer, tetapi terapi berkepanjangan dengan
aminoglikosid yang diperlukan selama 6-12 bulan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran pada semua pasien.
Aminoglikosid diabsorbsi buruk jika dikonsumsi secara oral. Hanya sekitar 3% dari dosis yang diberikan secara oral diabsorbsi dari sistem pencernaan. Aminoglikosid normalnya digunakan secara parenteral untuk infeksi sistemik berat. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa aminoglikosid tidak dimetabolisme. Metabolit toksik dapat terbentuk di telinga dalam. Aminoglikosid diekskresi terutama melalui ginjal oleh filtrasi glomerulus. Gangguan fungsi ginjal mengurangi kecepatan ekskresi. Gagal ginjal merupakan faktor risiko untuk ototoksisitas.
Gangguan pendengaran frekuensi tinggi cenderung terjadi dahulu. Pemaparan berkelanjutan terhadap aminoglikosid menyebabkan gangguan pendengaran yang berkembang ke frekuensi rendah. Delayed ototoxicity dapat terjadi setelah pemberhentian terapi dengan aminoglikosid. Onset gangguan pendengaran yang tertunda biasanya bermanifestasi dalam satu sampai tiga minggu setelah akhir terapi.
Onset ototoksisitas vestibular tidak dapat diprediksi,
dan mungkin tidak berkorelasi dengan dosis kumulatif pengobatan aminoglikosid.
Pasien rawat jalan asimtomatik hingga mereka menyadari adanya ketidakseimbangan
dan ataksia, yang diperburuk dengan gerakan. Tingkat keparahan gejala
bervariasi dari ketidakseimbangan hingga ketidakmampuan berjalan tanpa bantuan.
Pasien yang terkena dampak yang berat biasanya juga mengalami oscilopsia.
Toksisitas koklea dan vestibular dari aminoglikosid dapat dikurangi
dengan pemberian antioksidan atau iron
chelator, yang meliputi deferoksamin, 2,3 dihidroksibenzoat, alpha-liphoic acid, dan salisilat.
D-metionin, asam amino dengan sifat chelating
dan antioksidan, juga meringankan efek ototoksik dari gentamisin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar