Kamis, 21 Februari 2013

Ototoksik : Obat kemoterapi (anti-neoplastik)

Definisi
            Sisplatin, obat kemoterapi yang sering digunakan pada keganasan di daerah leher dan kepala, sudah diketahui memiliki efek gangguan dengan sensori neural yang ireversibel. Hasil penelitian menunjukkan penurunan glutahione akibat terbentuknya radikal bebas yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sel rambut kokhlea.
            Selain sisplatin, carboplatin juga dilaporkan mempunyai efek ototoksik yang lebih rendah dibanding sisplatin. Obat ini sering digunakan pada keganasan di kebidanan, paru-paru, sistem saraf pusat, kepala, leher, dan keganasan testikuler. Obat kemoterapi bersifat nonspesifik pada siklus hidup sel, mempengaruhi DNA mengganggu proses replikasi sel.
            Sisplatin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh dan konsentrasi tertinggi didapatkan di ginjal, hati, dan prostat. Sisplatin membentuk ikatan reversibel dengan protein plasma dan masih dapat terdeteksi sampai dengan 6 bulan setelah penghentian terapi. Carboplatin tidak berikatan dengan protein plasma dan dapat dibersihkan lebih cepat melalui ginjal. Dosis dan efektivitas sisplatin dan karboplatin dibatasi oleh efek samping yang ditiimbulkan. Efek samping yang paling utama adalah nefrotoksik dan ototoksis yang tergantung pada dosis.

 Patofisiologi
             Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media dan menyebabkan kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal kokhlea. Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam kokhlea setelah terpapar oleh sisplatin. NADPH oxidase adalah enzim yang mengkatalisasi pembentukan radikal superokside. Salah satu bentuk NADPH oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga dalam dan adalah sumber yang penting dari pembentukan radikal bebas di kokhlea yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Radikal bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel secara apoptosis yang diperantari oleh mitokondria dan caspase  yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan dengar yang permanen.

Faktor Resiko
            Beberapa faktor resiko terjadinya ototoksisitas pada pemberian obat kemoterapi telah berhasil dikenali, antara lain dosis dan jumlah siklus terapi yang semakin tinggi, riwayat terapi radiasi pada daerah kepala sebelumya, pasien dengan usia yang ekstrim, dehidrasi, pemberian obat ototoksik lainnya pada waktu bersamaan, serta gagal ginjal. 

Tanda dan Gejala
            Keluhan dapat beruba tinitus dan gangguan dengar. Gangguan dengar biasanya sensorineural, bilateral, progresif, dan permanen. Frekuensi tinggi biasanya yang pertama kali terpengaruh. Gejala dapat muncul setelah pemberian dosis yang pertama atau bisa juga beberapa hari atau bahkan  beberapa bulan setelah pemberian dosis terakhir.

 Pencegahan
            Pada pasien yang akan menerima obat, usahakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan sebelum, selama, dan sesudah terapi bahkan sampai 6 bulan kemudian. Anjurkan pasien untuk menghindari suasana yang bising sampai 6 bulan setelah terapi selesai. 

            Berbagai obat kemoprotektor menunjukkan penggunaan antioksidan untuk mengurangi efek ototoksik dari sisplatin. Penelitian pada hewan menggunakan vitamin E, L-N-Acetyl cysteine dan sodium thiosulfate, D-methionine, salisilat, iron chelators, caspase, atau calpain inhibitors, dan bahkan terapi gen menunjukkan hasil yang bermanfaat untuk memastikan teori ini. Namun sebagian besar penelitian masih dilakukan pada binatang, sehingga penelitian lanjut pada manusia masih diperlukan. 

Rabu, 20 Februari 2013

Ototoksik : Diuretik

Loop diuretik bekerja di bagian loop henle. Obat-obat yang termasuk didalam golonan ini adalah sulfonamide, turunan asam fenoksiasetat, ethacrynic acid dan heterocyclic compounds. Obat-obatan ini digunakan pada pengobatan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi. Diuretik yang cukup banyak digunakan, salah satunya ethacrynic acid furosemide, bumetanide dapat menyebabkan ototoksisitas.
Sekarang telah diketahui dengan baik bahwa antibiotik aminoglikosid memiliki efek sinergis dengan obat tertentu sehingga meningkatkan efek ototoksitasnya. Sebagai contoh, penggunaan aminoglikosid dengan loop diuretik dapat mengakibatkan kejadian ototoksik yang tinggi. Telah diketahui juga bahwa pemberian diuretik sebelum pemberian antibiotik aminoglikosid ternyata berakibat ototoksik dibandingkan jika diberikan sebaliknya.
Efek ototoksisitas diuretik berhubungan dengan stria vaskularis yang dipengaruhi oleh perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi perubahan potensial pada endolimfe. Diuretik lain seperti ethacrynic acid, ternyata meningkatkan permeabilitas stria vaskularis, memungkinkan terjadinya difusi aminoglikosid ke endolimfe. 
            Efek ototoksik karena ethacrynic acid terjadi secara bertahap dan efeknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan furosemide atau bumetanide. Secara keseluruhan efek ototoksis akibat diuretik bersifat sementara. 

            Pasien biasanya mengeluhkan gejala gangguan dengar setelah terapi diberikan. Pasien kadang juga mengeluh tinitus dan gangguan keseimbangan. Penurunan pendengaran yang sifatnya permanen dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, menerima terapi dalam dosis tinggi atau menerima antibiotik aminoglikosid pada saat bersamaan. 

            Pencegahan ototoksisitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan penggunaan dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan menghindari penggunaan intravena dengan tetesan cepat. Pasien dengan faktor resiko tinggi seperti gagal ginjal, penggunaan aminoglikosid pada saat bersamaan harus diperhatikan karena penggunaan obat aminoglikosid dan diuretik secara bersamaan tidak dianjurkan.

Selasa, 19 Februari 2013

Ototoksik : Aminoglikosida

Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan aminoglikosid telah dikurangi khususnya di negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh selain karena ditemukannya antibiotik broad-spectrum lain seperti sefalosporin, karbapenem dan florokuinolon, tetapi juga karena efek samping yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosid.1 Telah lama diketahui bahwa toksisitas ireversibel mayor dari aminoglikosid adalah ototoksisitas (kokleotoksisitas dan vestibulotoksisitas). Streptomisin dan gentamisin adalah vestibulotoksik, sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin adalah kokleotoksik. Neomisin dianggap yang paling toksik. Kerusakan koklea dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, dan kerusakan dari aparatus vestibular menyebabkan pusing, ataksia, dan/atau nistagmus. Pada manusia, efek ototoksik dari obat-obat ini dilaporkan sebagai gangguan pendengaran (tuli) sensorineural yang permanen karena sel rambut di koklea tidak beregenerasi.

Dalam pengobatan infeksi akut yang berlangsung selama 5-7 hari, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh aminoglikosid berkisar 20% dan gangguan keseimbangan berkisar 15%. Insiden dari ototoksisitas pada pasien tuberkulosis (TB) yang diterapi dengan aminoglikosid bergantung pada durasi dan dosis. Insiden tersebut dapat hanya serendah 3,2% selama fase awal terapi menggunakan obat TB primer, tetapi terapi berkepanjangan dengan aminoglikosid yang diperlukan selama 6-12 bulan dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada semua pasien.

Aminoglikosid diabsorbsi buruk jika dikonsumsi secara oral. Hanya sekitar 3% dari dosis yang diberikan secara oral diabsorbsi dari sistem pencernaan. Aminoglikosid normalnya digunakan secara parenteral untuk infeksi sistemik berat. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa aminoglikosid tidak dimetabolisme. Metabolit toksik dapat terbentuk di telinga dalam. Aminoglikosid diekskresi terutama melalui ginjal oleh filtrasi glomerulus. Gangguan fungsi ginjal mengurangi kecepatan ekskresi. Gagal ginjal merupakan faktor risiko untuk ototoksisitas.

Gangguan pendengaran frekuensi tinggi cenderung terjadi dahulu. Pemaparan berkelanjutan terhadap aminoglikosid menyebabkan gangguan pendengaran yang berkembang ke frekuensi rendah. Delayed ototoxicity dapat terjadi setelah pemberhentian terapi dengan aminoglikosid. Onset gangguan pendengaran yang tertunda biasanya bermanifestasi dalam satu sampai tiga minggu setelah akhir terapi.

Onset ototoksisitas vestibular tidak dapat diprediksi, dan mungkin tidak berkorelasi dengan dosis kumulatif pengobatan aminoglikosid. Pasien rawat jalan asimtomatik hingga mereka menyadari adanya ketidakseimbangan dan ataksia, yang diperburuk dengan gerakan. Tingkat keparahan gejala bervariasi dari ketidakseimbangan hingga ketidakmampuan berjalan tanpa bantuan. Pasien yang terkena dampak yang berat biasanya juga mengalami oscilopsia.

Toksisitas koklea dan vestibular dari aminoglikosid dapat dikurangi dengan pemberian antioksidan atau iron chelator, yang meliputi deferoksamin, 2,3 dihidroksibenzoat, alpha-liphoic acid, dan salisilat. D-metionin, asam amino dengan sifat chelating dan antioksidan, juga meringankan efek ototoksik dari gentamisin.

Senin, 18 Februari 2013

Ototoksik : OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglokosid (gentamisin, neomisin, streptomisin) secara sistemik dapat menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga tengah, juga dapat menyebabkan ototksisitas. Data yang diambil dari percobaan binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik golongan aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah bersifat ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid dibatasi pada kelainan telinga luar saja dengan membran timpani intak namun masih dengan risiko ototoksik.
Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan dengan pemberian sistemik. Penggunaan tetes telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran telinga luar, pH normalnya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes telinga dalam larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat sistem pertahanan alami saluran telinga luar.
Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi maka hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karen beberapa hal seperti cara pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup serumen, sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi masuknya obat tetes telinga ke dalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga dapat diperbaiki dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dan penggunaan hidrogen peroksida.
Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal telinga, digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang menyebabkan ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga menyebutkan 11 pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan neomisin-polimiksin tetes telinga.

Pada penelitian lain yang dilakukan Linder, dari 134 pasien yang dicurigai mengalami ototoksisitas yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik, hanya 2 pasien yang secara signifikan mengalami kerusakan sensori neural dikarenakan penggunaan berlebih tetes telinga yang mengandung polimisin dan framesetin dengan adanya kerusakan membran timpani.
Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi obat terdapat peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika gendang telinga tidak utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya kerusakan telinga dalam akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik masih jarang, namun juga dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari aminoglikosid yang ototoksik bila dibandingkan dengan aminoglikosid yang non-ototoksik. Sehingga apabila obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus dibatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya.