Sabtu, 17 Agustus 2013

kanker nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau mukosa dan kripta yang  melapisi permukaan nasofaring. Di Indonesia maupun di Asia Tenggara, KNF dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara keganasan di daerah kepala dan leher. Di Indonesia, menempati urutan ke-4 diantara keganasan yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.  Berdasarkan klasifikasi histopatologi, KNF dibagi menjadi WHO1, WHO2 dan WHO3.  WHO1 adalah karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, WHO2 gambaran histologinya karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. WHO3 adalah karsinoma yang sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah WHO2 dan WHO3. Di bagian THT Semarang mendapatkan 112 WHO2 dan WHO3  dari 127 kasus KNF.        
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah usia 20 tahun danusia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1.
          Sampai sekarang etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF7,16  dan faktor lain seperti genetik serta lingkungan yang mengandung bahan karsinogenik dinyatakan sebagai faktor pendukung. EBV hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Menurut hasil penelitian menyatakan faktor pendukung seperti lingkungan, genetik sangat menentukan timbulnya KNF.
         Sistem klasifikasi stadium KNF yang dipakai saat ini ada beberapa macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada tahun 1997 AJCC dan UICC mengeluarkan sistem klasifikasi stadium terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4 (1988). Berikut ini adalah sistem klasifikasi stadium menurut AJCC/UICC 199722 :Stadium T (ukuran/luas tumor):
T0        Tak ada kanker di lokasi primer
T1        Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring
T2        Tumor meluas ke jaringan lunak oraofaring dan atau ke kavum nasi.
T2a      Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b      Dengan perluasan ke parafaring
T3        Tumor menyeberang struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4        Tumor meluas ke intrakranial, dan/atau melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa infratemporal atau orbita.

   Limfonodi regional (N) :
N0       Tidak ada metastasis  ke limfonodi regional
N1       Metastasis unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2       Metastasis bilateral dengan nodus < 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N3       Metastasis nodus :     
N3a     > 6 cm                                              
N3b     meluas sampai ke fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M) :
M0       Tak ada metastasis jauh
M1       Terdapat metastasis jauh

Penderita KNF umumnya (60 – 90%) datang berobat di klinik sudah stadium lanjut7,20  dengan gejala penyebaran diluar nasofaring. Tumor primer di nasofaring sudah T3 atau T4  jarang dengan T1 atau T2.Gejala klinik meliputi gejala hidung dan telinga, saraf dan gejala dari penyebaran tumor ke kelenjar limfe servikal. Gejala hidung berupa ingus campur darah berulang biasanya sedikit bercampur ingus kental, kadang-kadang ada sumbatan hidung dan suara sengau. Gejala telinga adalah rasa penuh tak enak, kadang tuli akibat oklusi tuba Eustachi, atau otitis media serosa. Adinolodewo mendapatkan 59,4%, Rauf (1977) 73,5% dan Adinolodewo mendapatkan 72,5%. Tumor meluas ke intra kranial melalui foramen laserum menimbulkan kerusakan pada grup anterior yaitu saraf III, IV, VI yang disusul saraf V bila melewati foramen ovale yang menyebabkan pandangan diplopi. Kerusakan saraf ke V menyebabkan neuralgia trigeminal. Penjalaran ke foramen jugulare mengenai sekumpulan saraf otak yaitu saraf IX sampai saraf XII serta saraf simpatikus leher yang menuju ke orbita. Tjegeg mendapatkan kelainan neurologik antara 29 – 53%. Metastasis  ke kelenjar getah bening leher profunda sering dijumpai, yaitu sekitar 60 – 93% dan dapat dijumpai unilateral, kontra lateral atau sering kali bilateral. Diagnosis klinis didasarkan pada hasil anamnesis,  gejala klinis tumor dan kelainan di nasofaring. Perubahan mukosa  nasofaring mudah dinilai dengan menggunakan endoskop. Tampak jelas perubahan berupa penonjolan mukosa, peradangan, ulseratif disertai perdarahan ringan. Pemeriksaan radiologis CT scan (computerized tomographic scanning) atau magnitic resonance imaging  (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif terhadap kelainan nasofaring. Diagnosis histopatologi spesimen biopsi nasofaring dengan mikroskop cahaya maupun mikroskop elektron merupakan standard baku emas untuk menegakkan diagnosis.

 Terapi radiasi KNF              
Sampai saat ini radioterapi masih merupakan pilihan utama pengobatan KNF. Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama didasarkan pada dua pertimbangan yaitu pertama  bahwa secara histopatologi kebanyakan KNF 75%-95% dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO2) yang tergolong radioresponsif apalagi pada stadium awal,  kedua  karena letak KNF yang sulit dicapai melalaui metoda pembedahan. KNF juga cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar sehingga operasi yang bersih dengan prinsip operasi luas (wide excision) sulit dilaksanakan.Radioterapi pada pengobatan KNF dilakukan dengan dua cara yaitu radiasi eksternal dan radiasi internal (brakiterapi). Brakiterapi adalah suatu metode penyinaran langsung ke daerah nasofaring dengan jalan memasukkan suatu alat berupa implan intertisial atau inserasi intrakavitas secara temporal pada ruang nasofaring. Pengobatan KNF dengan radiasi menggunakan sinar gama untuk mematikan atau menghilangkan (eradikasi) seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radiasi eksternal diberikan secara homogen pada daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, dasar tengkorak, koana dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Radiasi diberikan dari arah lateral kanan dan kiri serta ditambah dari arah depan bila ada perluasan tumor ke hidung dan sekitarnya.             Radiasi dengan pesawat Co60 yang memancarkan sinar g (gama) diberikan beberapa kali dengan dosis terbagi (fraksinasi), yaitu radiasi dosis 200 cGy setiap fraksi pemberian 5 kali seminggu selama 6–7,5 minggu. Dosis yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari banyaknya sel kanker (besarnya tumor). Tumor yang masih dini (T1 dan T2) dapat diberikan radiasi menggunakan Cobalt 60 dengan dosis sebesar 200 – 220 cGy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat mencapai dosis total 6000 – 6600 cGy dalam 6 minggu.26  Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) dianjurkan diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 7000 – 7500 cGy.
            Selain radiasi eksternal, booster dapat diberikan bila masih didapatkan residu tumor dengan area diperkecil  hanya pada tumornya saja sebesar 1000 – 1500 cGy sehingga mencapai dosis total 7500 – 8000 cGy. Booster ini umumnya diberikan dengan cara radiasi internal (brakiterapi).

Senin, 03 Juni 2013

Instrumen : Nasal Septum Surgery



RLNS1-Killian Nasal Speculum, 
RLNS2-Killian Gouge, 
RLNS3-Foman Scissor,
RLNS4-Chisel, 
RLNS5-Turbinectomy Scissor, 
RLNS6-Middleton-Jansen, 
RRLNS7-Nasal Speculum Thudicum, 
RLNS8-Henkal Ethmoid Punch, 
RLNS9-Tilleys Ethmoid Punch, 
RLNS10-Nasal Dressing, 
RLNS11-Mallet, 
RLNS12-Krause Snare

Minggu, 02 Juni 2013

Instrumen Tonsilektomi

Sebagai dokter umum sering kali kita mengalami kesulitan karena tidak mengenal nama-nama instrument yang dipakai oleh dokter THT atau pada saat membaca buku kita tidak tahu rupa alat yang disebutkan. Karena itu, disini saya memberikan gambar beserta nama untuk instrumen-instrumen tersebut.
Kali ini yang akan diperlihatkan adalah intrument untuk tonsilektomi.
Semoga bermanfaat!


RLTON1-Tonsil Disector And Pillar Retractor, 
RLTON2-Tonsil Yulsulum Forceps,
RLTON3-Knot Tier 
RLTON4-Adenoid Curret,
RLTON5-Bipod Stand, 
RLTON6-Daughty Blade, 
RLTON7-Davis Boyles
RLTON8-Yaunker Suction Tube,
RLTON9-Dennis Browne Tonsil Holding Forceps,
RLTON10-Waugh Tonsil Disecting Tooth, 
RLTON11-Metzabaun Scissors, 
RLTON12-Tonsil Artery Forceps Curved, 
RLTON13-Tonsil Artery Forceps Half Curved,
RLTON14-Tonsil Artery Forceps Straight,
RLTON15-Tonsil Snare

Rabu, 15 Mei 2013

Congeeeek.... (Otitis Media Akut)

         DEFINISI
Otitis media akut adalah infeksi atau peradangan akut pada sebagian atau seluruh rongga telinga tengah, sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya infeksi virus atau bakteri.
        ETIOLOGI
Bakteri piogenik sebagai penyebabnya yang tersering yaitu Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, dan Pneumokokus. Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza, Escheria colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus influenza merupakan bakteri yang paling sering kita temukan pada pasien anak berumur dibawah 5 tahun.    
        PATOFISIOLOGI
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Faktor pertahanan tubuh seperti silia dari mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi. Faktor ini akan mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Penyebab utamanya adalah tersumbatnya tuba Eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Faktor pencetus terjadinya otitis media supuratif akut (OMA), yaitu : infeksi saluran nafas atas (common cold) yang terjadi terutama pada pasien anak-anak Bayi lebih mudah menderita otitis media supuratif akut (OMA) karena letak tuba Eustachius yang lebih pendek, lebih lebar dan lebih horisontal.
          MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan umur penderita. Biasanya gejala awal berupa sakit telinga yang berat dan menetap. Bisa terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu : Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 39ºC
• Bayi dan anak kecil  (khas), sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Gejalanya : biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek.
• Anak yang sudah bisa bicara Gejalanya : rasa nyeri dan
• Anak lebih besar dan orang dewasa  gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang), mual, muntah, diare dan demam sampai 40.5ºC.      

STADIUM OTITIS MEDIA  AKUT (OMA)
        Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi (tidak dapat dideteksi). Stadium oklusi dari otitis media supuratif akut (OMA) sukar dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa akibat virus atau alergi
·         Stadium Hiperemis (Presupurasi)
Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membrane timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
·         Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging (penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar.Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil.Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi.
·         Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).
·         Stadium Resolusi
Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga erforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering.Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.

·         KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa timbul jika otitis media tidak segera diobati adalah mastoiditis atau petrositis (infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah), perforasi gendang telinga dengan cairan yang terus menerus keluar. Komplikasi lebih lanjut seperti infeksi atau peradangan ke selaput otak (meningitis) walau jarang masih mungkin terjadi, sumbatan pembuluh darah akibat tromboemboli juga bisa terjadi. Disarankan segera bawa anak anda bila rewel dan memegang-megang telinga, tidak nyaman merebah demam dan keluar cairan pada telinga. Bila anda memeriksakan secara dini otitis media bisa dicegah sebelum memberikan kerusakan lebih lanjut dengan paracentesis atau miringotomi. Komplikasi lain yang serius adalah: Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler), kelumpuhan pada wajah, tuli dan abses otak Tanda-tanda terjadinya komplikasi antara lain : sakit kepala, tuli yang terjadi secara mendadak, vertigo (perasaan berputar), demam dan menggigil.

Selasa, 12 Maret 2013

Poster Bedah Endoskopi Sinus Fungsional

Hari ini saya dimintai tolong untuk membuat poster mengenai Bedah Endoskopi Sinus Fungsional. Tujuannya adalah supaya poster ini bisa ditempel di Rumah Sakit dan bisa dibaca oleh semua pasien. Mudah-mudahan pasien bisa mendapatkan manfaat dari poster ini ;)


Kamis, 21 Februari 2013

Ototoksik : Obat kemoterapi (anti-neoplastik)

Definisi
            Sisplatin, obat kemoterapi yang sering digunakan pada keganasan di daerah leher dan kepala, sudah diketahui memiliki efek gangguan dengan sensori neural yang ireversibel. Hasil penelitian menunjukkan penurunan glutahione akibat terbentuknya radikal bebas yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sel rambut kokhlea.
            Selain sisplatin, carboplatin juga dilaporkan mempunyai efek ototoksik yang lebih rendah dibanding sisplatin. Obat ini sering digunakan pada keganasan di kebidanan, paru-paru, sistem saraf pusat, kepala, leher, dan keganasan testikuler. Obat kemoterapi bersifat nonspesifik pada siklus hidup sel, mempengaruhi DNA mengganggu proses replikasi sel.
            Sisplatin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh dan konsentrasi tertinggi didapatkan di ginjal, hati, dan prostat. Sisplatin membentuk ikatan reversibel dengan protein plasma dan masih dapat terdeteksi sampai dengan 6 bulan setelah penghentian terapi. Carboplatin tidak berikatan dengan protein plasma dan dapat dibersihkan lebih cepat melalui ginjal. Dosis dan efektivitas sisplatin dan karboplatin dibatasi oleh efek samping yang ditiimbulkan. Efek samping yang paling utama adalah nefrotoksik dan ototoksis yang tergantung pada dosis.

 Patofisiologi
             Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media dan menyebabkan kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal kokhlea. Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam kokhlea setelah terpapar oleh sisplatin. NADPH oxidase adalah enzim yang mengkatalisasi pembentukan radikal superokside. Salah satu bentuk NADPH oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga dalam dan adalah sumber yang penting dari pembentukan radikal bebas di kokhlea yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Radikal bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel secara apoptosis yang diperantari oleh mitokondria dan caspase  yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan dengar yang permanen.

Faktor Resiko
            Beberapa faktor resiko terjadinya ototoksisitas pada pemberian obat kemoterapi telah berhasil dikenali, antara lain dosis dan jumlah siklus terapi yang semakin tinggi, riwayat terapi radiasi pada daerah kepala sebelumya, pasien dengan usia yang ekstrim, dehidrasi, pemberian obat ototoksik lainnya pada waktu bersamaan, serta gagal ginjal. 

Tanda dan Gejala
            Keluhan dapat beruba tinitus dan gangguan dengar. Gangguan dengar biasanya sensorineural, bilateral, progresif, dan permanen. Frekuensi tinggi biasanya yang pertama kali terpengaruh. Gejala dapat muncul setelah pemberian dosis yang pertama atau bisa juga beberapa hari atau bahkan  beberapa bulan setelah pemberian dosis terakhir.

 Pencegahan
            Pada pasien yang akan menerima obat, usahakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan sebelum, selama, dan sesudah terapi bahkan sampai 6 bulan kemudian. Anjurkan pasien untuk menghindari suasana yang bising sampai 6 bulan setelah terapi selesai. 

            Berbagai obat kemoprotektor menunjukkan penggunaan antioksidan untuk mengurangi efek ototoksik dari sisplatin. Penelitian pada hewan menggunakan vitamin E, L-N-Acetyl cysteine dan sodium thiosulfate, D-methionine, salisilat, iron chelators, caspase, atau calpain inhibitors, dan bahkan terapi gen menunjukkan hasil yang bermanfaat untuk memastikan teori ini. Namun sebagian besar penelitian masih dilakukan pada binatang, sehingga penelitian lanjut pada manusia masih diperlukan. 

Rabu, 20 Februari 2013

Ototoksik : Diuretik

Loop diuretik bekerja di bagian loop henle. Obat-obat yang termasuk didalam golonan ini adalah sulfonamide, turunan asam fenoksiasetat, ethacrynic acid dan heterocyclic compounds. Obat-obatan ini digunakan pada pengobatan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi. Diuretik yang cukup banyak digunakan, salah satunya ethacrynic acid furosemide, bumetanide dapat menyebabkan ototoksisitas.
Sekarang telah diketahui dengan baik bahwa antibiotik aminoglikosid memiliki efek sinergis dengan obat tertentu sehingga meningkatkan efek ototoksitasnya. Sebagai contoh, penggunaan aminoglikosid dengan loop diuretik dapat mengakibatkan kejadian ototoksik yang tinggi. Telah diketahui juga bahwa pemberian diuretik sebelum pemberian antibiotik aminoglikosid ternyata berakibat ototoksik dibandingkan jika diberikan sebaliknya.
Efek ototoksisitas diuretik berhubungan dengan stria vaskularis yang dipengaruhi oleh perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi perubahan potensial pada endolimfe. Diuretik lain seperti ethacrynic acid, ternyata meningkatkan permeabilitas stria vaskularis, memungkinkan terjadinya difusi aminoglikosid ke endolimfe. 
            Efek ototoksik karena ethacrynic acid terjadi secara bertahap dan efeknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan furosemide atau bumetanide. Secara keseluruhan efek ototoksis akibat diuretik bersifat sementara. 

            Pasien biasanya mengeluhkan gejala gangguan dengar setelah terapi diberikan. Pasien kadang juga mengeluh tinitus dan gangguan keseimbangan. Penurunan pendengaran yang sifatnya permanen dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, menerima terapi dalam dosis tinggi atau menerima antibiotik aminoglikosid pada saat bersamaan. 

            Pencegahan ototoksisitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan penggunaan dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan menghindari penggunaan intravena dengan tetesan cepat. Pasien dengan faktor resiko tinggi seperti gagal ginjal, penggunaan aminoglikosid pada saat bersamaan harus diperhatikan karena penggunaan obat aminoglikosid dan diuretik secara bersamaan tidak dianjurkan.

Selasa, 19 Februari 2013

Ototoksik : Aminoglikosida

Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan aminoglikosid telah dikurangi khususnya di negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh selain karena ditemukannya antibiotik broad-spectrum lain seperti sefalosporin, karbapenem dan florokuinolon, tetapi juga karena efek samping yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosid.1 Telah lama diketahui bahwa toksisitas ireversibel mayor dari aminoglikosid adalah ototoksisitas (kokleotoksisitas dan vestibulotoksisitas). Streptomisin dan gentamisin adalah vestibulotoksik, sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin adalah kokleotoksik. Neomisin dianggap yang paling toksik. Kerusakan koklea dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, dan kerusakan dari aparatus vestibular menyebabkan pusing, ataksia, dan/atau nistagmus. Pada manusia, efek ototoksik dari obat-obat ini dilaporkan sebagai gangguan pendengaran (tuli) sensorineural yang permanen karena sel rambut di koklea tidak beregenerasi.

Dalam pengobatan infeksi akut yang berlangsung selama 5-7 hari, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh aminoglikosid berkisar 20% dan gangguan keseimbangan berkisar 15%. Insiden dari ototoksisitas pada pasien tuberkulosis (TB) yang diterapi dengan aminoglikosid bergantung pada durasi dan dosis. Insiden tersebut dapat hanya serendah 3,2% selama fase awal terapi menggunakan obat TB primer, tetapi terapi berkepanjangan dengan aminoglikosid yang diperlukan selama 6-12 bulan dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada semua pasien.

Aminoglikosid diabsorbsi buruk jika dikonsumsi secara oral. Hanya sekitar 3% dari dosis yang diberikan secara oral diabsorbsi dari sistem pencernaan. Aminoglikosid normalnya digunakan secara parenteral untuk infeksi sistemik berat. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa aminoglikosid tidak dimetabolisme. Metabolit toksik dapat terbentuk di telinga dalam. Aminoglikosid diekskresi terutama melalui ginjal oleh filtrasi glomerulus. Gangguan fungsi ginjal mengurangi kecepatan ekskresi. Gagal ginjal merupakan faktor risiko untuk ototoksisitas.

Gangguan pendengaran frekuensi tinggi cenderung terjadi dahulu. Pemaparan berkelanjutan terhadap aminoglikosid menyebabkan gangguan pendengaran yang berkembang ke frekuensi rendah. Delayed ototoxicity dapat terjadi setelah pemberhentian terapi dengan aminoglikosid. Onset gangguan pendengaran yang tertunda biasanya bermanifestasi dalam satu sampai tiga minggu setelah akhir terapi.

Onset ototoksisitas vestibular tidak dapat diprediksi, dan mungkin tidak berkorelasi dengan dosis kumulatif pengobatan aminoglikosid. Pasien rawat jalan asimtomatik hingga mereka menyadari adanya ketidakseimbangan dan ataksia, yang diperburuk dengan gerakan. Tingkat keparahan gejala bervariasi dari ketidakseimbangan hingga ketidakmampuan berjalan tanpa bantuan. Pasien yang terkena dampak yang berat biasanya juga mengalami oscilopsia.

Toksisitas koklea dan vestibular dari aminoglikosid dapat dikurangi dengan pemberian antioksidan atau iron chelator, yang meliputi deferoksamin, 2,3 dihidroksibenzoat, alpha-liphoic acid, dan salisilat. D-metionin, asam amino dengan sifat chelating dan antioksidan, juga meringankan efek ototoksik dari gentamisin.

Senin, 18 Februari 2013

Ototoksik : OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglokosid (gentamisin, neomisin, streptomisin) secara sistemik dapat menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga tengah, juga dapat menyebabkan ototksisitas. Data yang diambil dari percobaan binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik golongan aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah bersifat ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid dibatasi pada kelainan telinga luar saja dengan membran timpani intak namun masih dengan risiko ototoksik.
Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan dengan pemberian sistemik. Penggunaan tetes telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran telinga luar, pH normalnya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes telinga dalam larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat sistem pertahanan alami saluran telinga luar.
Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi maka hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karen beberapa hal seperti cara pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup serumen, sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi masuknya obat tetes telinga ke dalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga dapat diperbaiki dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dan penggunaan hidrogen peroksida.
Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal telinga, digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang menyebabkan ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga menyebutkan 11 pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan neomisin-polimiksin tetes telinga.

Pada penelitian lain yang dilakukan Linder, dari 134 pasien yang dicurigai mengalami ototoksisitas yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik, hanya 2 pasien yang secara signifikan mengalami kerusakan sensori neural dikarenakan penggunaan berlebih tetes telinga yang mengandung polimisin dan framesetin dengan adanya kerusakan membran timpani.
Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi obat terdapat peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika gendang telinga tidak utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya kerusakan telinga dalam akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik masih jarang, namun juga dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari aminoglikosid yang ototoksik bila dibandingkan dengan aminoglikosid yang non-ototoksik. Sehingga apabila obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus dibatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya.